21 Jun 2019
Perjanjian Perkawinan Setelah Terbitnya Putusan MK
Perjanjian Perkawinan sudah menjadi sangat populer saat ini seiring dengan adanya Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada 27 Oktober 2016. Perjanjian Perkawinan sebelum adanya putusan tersebut telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Dengan adanya putusan tersebut, memberi tafsiran baru terhadap Pasal 29 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Perkawinan terkait dengan pelaksanaan perjanjian perkawinan.
Dalam Amar Putusan MK menyatakan “Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan”. Kemudian, dalam ayat (3) menyatakan bahwa “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.” Sedangkan untuk ayat (4) menyatakan “selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.”
Berdasarkan Putusan tersebut, terdapat lima unsur penting terkait dasar pembuatan perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ayat (1), yaitu: 1) perjanjian dibuat sebelum atau selama perkawinan, 2) persetujuan bersama, 3) perjanjian tertulis, 4) disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, dan 5) isi perjanjian berlaku juga terhadap pihak ketiga. Sehingga suatu perjanjian perkawinan yang dibuat, dapat dikatakan berlaku dan memiliki legalitas yang sah apabila telah memenuhi kelima unsur utama diatas.
Apabila terdapat pasangan suami istri yang hendak membuat dan melaksanakan perjanjian perkawinan, pasangan tersebut dapat meminta seorang penasehat hukum untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bentuk legal opinion untuk dijadikan sebagai draft perjanjian tersebut. Setelah dilakukan pembuatan draft perjanjian tersebut, dilanjutkan dengan pembuatan perjanjian perkawinan dalam bentuk akta oleh notaris yang setelahnya wajib dilakukan pencatatan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Apabila perjanjian tersebut tidak dilakukan pencatatan atau pendaftaran ke pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian tersebut tidaklah menjadi perjanjian perkawinan yang sah dan memiliki legalitas hukum.
Best Regards,
Marina Ery Triatmi, S.H. (Staff)
marina.kan@tax-legal.id / +62 896 0248 5943
Nur Hakim, S.H., M.H., C.L.A. (Partner)
hakim.kan@tax-legal.id / +62 813 8015 1334
Read Other Updates
-
Dampak Omnibus Law Merubah Konsep Perizinan Di Indonesia Menjadi Mudah
11 Dec 2020
-
Likuidasi Menjadi Salah Satu Pilihan Perseroan akibat Dampak Pandemi Covid-19
14 Aug 2020
-
Penerbitan Dukungan Visa Bisnis dan Visa Kerja dari BKPM untuk TKA di Masa Pandemi COVID-19
06 Jul 2020
-
Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Secara Online
11 Jun 2020
-
Kemudahan Mengurus Izin Lokasi Dalam Rangka Penanaman Modal
03 Jun 2020
-
Kemudahan Mengajukan Beragam Perizinan Secara Online Lewat Situs Jakevo
21 May 2020
-
Layanan Perizinan Tenaga Kerja Asing Di Kementerian Ketenagakerjaan Dihentikan Untuk Sementara
22 Apr 2020
-
Covid-19 Tidak Menghilangkan Kewajiban Laporan Realisasi Investasi Ke BKPM
15 Apr 2020